Dalam membangun relasi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, pada dasarnya telah dikukuhkan dalam butir-butir Hak Asasi Manusia (HAM) dan dideklarasikan dalam konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan 1980 dan disahkan oleh majelis umum perserikatan bangsa-bangsa pada tanggal 18 desember 1980. Secara lengkap hak-hak dasar manusia yang termaktub dalam deklarasi HAM tersebut meliputi 16 hak. Diantaranya adalah hak persamaan di dalam politik dan hukum, Persamaan laki-laki dan perempuan; serta hak menikah dan berkeluarga.
Dalam aturan yang sudah dibuat itu dikatakan bahwa siapapun yang merampas salah satunya maka itu merupakan pelanggaran kemanusiaan. Secara spesifik, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW) 1980, juga telah mengatur Hak-hak Asasi Perempuan (HAP). CEDAW mengatur upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam pasal 1 disebutkan: “Diskriminasi terhadap perempuan, berarti segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara lelaki dan perempuan”.
Pada pasal 16 yang memuat ketentuan di bidang hukum keluarga dan perkawinan. Secara umum, pada Ayat (1) menyatakan persamaan perempuan dengan laki-laki akan dijamin terhadap hak dan tanggung jawab dalam hubungan kekeluargaan dan semua urusan mengenai perkawinan. Perlu disadari bersama, bahwasanya pelanggaran-pelanggaran hak asasi dan prinsip-prinsip keadilan yang masih terjadi dalam kehidupan perkawinan bisa menjadi preseden buruk untuk masa depan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah hukum yang menjamin tujuan perkawinan, yaitu sakinah, mawaddah, wa rahmah yang menjamin semua pihak diperlakukan secara adil dan setara. Dalam Al- Qur‟an pada surah ar-Rum dinyatakan: Yang artinya : “Dan di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan adalah bahwa Dia menciptakan pasangan kamu dari bahan yang sama agar kamu menjadi tentram bersamanya; dan Dia menjadikan kamu berdua saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Ini adalah pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang memikirkannya”. (QS. Al-Rum: 21).
Pada dasarnya Al-Qur’an memposisikan keluarga dan perkawinan Islam pada persimpangan antara ruang privat (individual) dan ruang publik (komunal), antara ruang keagamaan dan ruang sosial. Di dalam ruang sosial inilah, negara berusaha mengambil peran untuk menjamin setiap warga negaranya yang ada dalam sebuah konstitusi perkawinan agar memperoleh hak-hak dasarnya dengan utuh. Negara berusaha melindungi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan agar tidak dilanggar hak-haknya, tidak terjadi kekerasan, dan tidak terjadi ketidakadilan. Hal ini tercantum dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang menjelaskan bahwa Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 adalah : “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”.
Dari bunyi pasal 1 Undang-Undang Perkawinan ini bisa dipahami bahwa unsur-unsur dari perkawinan itu sendiri, yaitu :
1. Adanya ikatan lahir batin
Bahwa perkawinan hendaknya bukan hanya didasari oleh ikatan secara fisik (lahir) semata antara suami dengan istri dan juga dengan masyarakat, tetapi hendaknya juga mempunyai ikatan perasaan (batin) yaitu suatu niat untuk sungguh-sungguh hidup bersama sebagai suami istri.
2. Antara seorang pria dan wanita
Bahwa perkawinan di Indonesia hanya mengenal perkawinan antara seorang pria dengan wanita dan sebaliknya. Tidak diperbolehkan perkawinan antara sesama jenis, baik antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.
3. Bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
Hendaknya perkawinan yang telah dilaksanakan berlangsung seumur hidup untuk selama-lamanya dan dapat tercipta keluarga yang rukun, damai dan sejahtera.
4. Bahwa perkawinan di Indonesia harus berdasarkan atau berlandaskan agama
Di Indonesia tidak diperbolehkan perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang yang tidak beragama (atheis). Agama dan kepercayaan yang dianut juga berperan untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Dalam undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Perkawinan.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil
b. Hak dan Kedudukan Istri
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri.
Ideologi yang mengatur norma relasi gender antara suami sebagai pemimpin keluarga dan istri yang selalu dipimpin, secara legal politis diadopsi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan UU Perkawinan 1974. Undang-undang perkawinan (UUP) tersebut adalah UUP No. 1 tahun 1974 (UUP) pasal 31 ayat 3 yang berbunyi: “suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga” dan dipertegas pada pasal 34 pada undang-undang yang sama. “suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.” Terjemahan sosial dari peraturan tersebut adalah bahwa istri wajib mengikuti kehendak suami. Pandangan lain yang muncul pada akhirnya adalah bahwa semua peran domestik tanpa tawar menawar merupakan tanggungan istri. Istri berkedudukan sebagai konco wingking, pendamping dan pendukung suami. Peran dan posisi perempuan tereduksi hanya dicukupkan menyandang status istri dan ibu, belum sampai dipandang sebagai manusia utuh yang memiliki otonomi. Budaya lokal dibeberapa daerah di Indonesia, memposisikan suami sebagai kepala keluarga, yang berarti ia memiliki hak atas semua keputusan dengan kepemilikan kehendak seolah-olah tanpa batas.
Beberapa persoalan tersebut menunjukkan bahwa sementara pada level teoritis, reformasi yang dimaksudkan untuk menambah atau meningkatkan status wanita, namun pada taraf pelaksanaannya mereka ditentang secara gigih oleh kekuatan konservatif dengan mempertahankan pembatasan-pembatasan terhadap wanita. Upaya reformasi tersebut belum mampu mengikis budaya patriarkhi yang menyelimuti seluruh aspek kehidupan masyarakat. Bagi kelompok feminis, budaya patriarkhi merupakan akar dari seluruh kecenderungan misoginis yang di antaranya terwujud dalam berbagai perilaku diskriminatif terhadap perempuan. Paham patriarkhi membawa kepada timbulnya interpretasi ajaran agama yang memihak kepada kepentingan kaum laki-laki. Wanita hanya sebagai pelayan suami, pengasuh anak, dan kerja di dapur, dan mengesampingkan peran perempuan sebagai pelayan masyarakat. Menurut A.M. Saefuddin, dalam berbagai konteks, setidaknya seorang perempuan memliki lima peran dan kewajiban yang harus dipenuhinya. Yaitu: kewajiban terhadap agama (wajibat diniyyah), kewajiban terhadap pribadinya (wajibat syakhsiyyah), kewajiban terhadap rumah tangganya (wajibat baitiyyah), kewajiban terhadap masyarakatnya (wajibat ijtima„iyyah) dan kewajiban terhadap negaranya (wajibat wataniyyah), sehingga banyak tokoh-tokoh kontemporer yang berpandangan bahwa wanita juga berkesempatan untuk terlibat dalam berbagai peran dalam kehidupan. Misalnya peranannya dalam wilayah politik termasuk manifestasinya sebagai pemimpin. Islam, dalam kerangka kehidupan rumah tangga, menunjukkan perhatian yang luar biasa mengenai adanya hak-hak dan kewajiban yang dihimpun atas laki laki dan perempuan (suami dan istri). Hubungan tersebut didirikan dengan asas keseimbangan dan timbal balik di antara keduanya dengan harapan adanya keluarga dengan ketenangan cinta, rahmat dan keberlangsungan didalamnya. Dan untuk mewujudkan keberlangsungan itu tidak diperbolehkan untuk memaksa dan menyusahkan antara satu sama lain.
Prinsip equal adalah konsep yang memandang manusia sama derajatnya. Setiap individu memiliki kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan dan memiliki hak-hak yang harus diterima. Perempuan dan laki-laki atau suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Dalam hal ini. suami dengan istri harus diposisikan setara. Equal merupakan ikatan penghubung dari prinsip-prinsip menyeluruh dan kaidah-kaidah umum agar menjadi dasar bagi sistem kehidupan yang dapat memelihara eksistensi komunitas manusia. Membangun hubungan yang seimbang, hubungan timbal-balik yang sehat, berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan, tanpa mempersoalkan perbedaan. Pemahaman untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan seharusnya tidak lagi ditemukan dalam kehidupan berumah tangga karena merujuk pada status baru yang diemban ketika telah menikah yaitu status sebagai suami istri. Karena status baru tersebut maka dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap hak-hak mereka, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sachiko Murata dalam The Tao of Islamic menjelaskan pendapat- pendapat para ahli tafsir bahwa: Tuhan menyatakan hak kaum wanita atas kaum pria persis sama dengan hak kaum laki-laki atas kaum perempuan. Menjadi kewajiban mereka berdua untuk menjaga yang lain dari dirinya sendiri agar suci dan menyenangkan, untuk hidup bahagia dan untuk menjadi kawan yang membahagiakan dan menyenangkan.
Penulis: Suharti, M. HI (Mahasiswa Program Doktor, Pascasarjana UIN Mataram), e-mail : suhartinukman86@gmail.com